"Ini bukan soal satu atau seratus lantai," kata pengamat parlemen Sebastian Salang."Ini bukan soal satu atau seratus lantai," kata pengamat parlemen Sebastian Salang.
Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Sebastian Salang, menegaskan bahwa pembangunan gedung baru DPR bukan soal berapa ketinggian lantai dari gedung baru tersebut. “Ini bukan soal satu atau seratus lantai. Tapi tentang anggaran negara yang seharusnya diprioritaskan untuk hal-hal lain,” tegas Sebastian kepada VIVAnews.
Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, audit Kementerian PU memutuskan gedung baru DPR hanya akan dibangun setinggi 26 lantai, bukan 36 lantai seperti rencana semula. Pemangkasan lantai itu pun membuat biaya pembangunan gedung dapat dikurangi dari Rp1,1 triliun seperti yang tercantum pada anggaran awal, menjadi Rp777 miliar.
“Saya berikan alternatif kepada DPR, mau memakai desain baru ini, atau (desain) yang lama diperbaiki,” kata Djoko. DPR sendiri tampaknya tak keberatan dengan keputusan Kementerian PU yang baru tersebut. “Kami memberikan kepercayaan tinggi kepada Kementerian PU dan jajarannya untuk mengkalkulasi ulang. DPR berterima kasih kepada ahli-ahli mereka. Saya mendorong seluruh anggota DPR menerima keputusan itu dengan lapang dada,” kata Priyo.
Namun FORMAPPI justru menilai, DPR dan pemerintah – dalam hal ini Kementerian PU – terkesan main-main soal anggaran negara. “Kalau PU punya otoritas dan andil untuk ikut menentukan soal pembangunan gedung DPR, kenapa baru sekarang bersuara? Kenapa baru sekarang melakukan audit?” tandas Sebastian. Menurutnya, PU kini seakan-akan tampil sebagai penyelamat bagi DPR.
“Ini logika sesat. Semakin memperjelas ada permainan di balik pembangunan gedung baru DPR. Ada sandiwara antara eksekutif dan legislatif,” ujar Sebastian. Ia mengingatkan, rencana pembangunan gedung baru DPR yang awalnya terdiri dari 36 lantai pun diketok DPR berdasarkan pertimbangan dari Kementerian PU. Maka, audit PU saat ini yang merevisi pertimbangannya yang terdahulu, menjadi terkesan mengada-ada.
“Tidak perlu gedung baru, batalkan. Lebih baik anggarannya digunakan untuk memperbaiki fasilitas di RSCM dan berbagai sekolah yang telah rusak,” pungkas Sebastian.
Sumber
Diskon Biaya Gedung Baru DPR Hanya Akal-Akalan
JAKARTA - Kebijakan Menteri Pekerjaan Umum Doko Kirmanto untuk menurunkan biaya pembangunan gedung baru DPR dari Rp 1,1 triliun menjadi 777 miliar dinilai hanya akal-akalan untuk mengelabui publik.
Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi mengatakan, yang diinginkan publik saat ini adalah penundaan pembangunan gedung.
“Publik ingin penundaan. Ini hanya siasat anggota DPR saja, akal-akalan bulus untuk mengecoh rakyat,” katanya kepada okezone, Senin (9/5/2011).
Dia mencontohkan, hal serupa pernah terjadi pada proyek renovasi rumah jabatan anggota DPR di Kalibata. Akibat protes keras masyarakat, DPR dan pemerintah akhirnya menurunkan biaya renovasi dari Rp 445 miliar menjadi sekira Rp 300 miliar. Namun, saat proyek berjalan tiba-tiba DPR mengajukan biaya tambahan pada APBN Perubahan sehingga totalnya tetap Rp 445 miliar.
Hal senada juga disampaikan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Menurutnya, pernyataan Menteri Pekerjaan Umum mempermainkan DPR dan mempermainkan masyarakat karena rencana pembangunan gedung baru ini bukan sehari dua hari lalu. Biaya pembangunan juga terus berubah dari Rp 1,8 triliun, Rp 1,3 triliun dan Rp 1,1 triliun.
“Mestinya kalau hitungan mereka jauh-jauh hari sebelumnya, maka angka 1,8 triliun enggak perlu muncul 1,3 triliun dan 1,1 triliun enggak perlu muncul dan DPR tak perlu dicaci maki begitu panjang,” ujarnya.
Menurut dia, DPR dan pemerintah gagal menangkap substansi penolakan publik yaitu agar program pembangunan gedung-gedung mewah dihentikan dan dialihkan ke sektor yang lebih menyentuh kepentingan rakyat. Misalnya, renovasi gedung sekolah, pembangunan jalan atau peningkatan jaminan kesehatan masyarakat.
“Itulah substansi penolakan masyarakat. Toh gedung yang sekarang sangat layak kecuali kalau sebentar lagi roboh, jadi pernyataan Menteri PU itu enggak ada gunanya, semakin melukai hati masyarakat,” katanya.
Sebastian juga pesimistis jika pembangunan gedung dilanjutkan maka biaya 777 miliar seperti yang disebut Djoko tak akan melejit. “Kalau sudah berjalan sulit mengendalikan untuk kebutuhan inilah, itulah,” katanya.
Sumber
Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Sebastian Salang, menegaskan bahwa pembangunan gedung baru DPR bukan soal berapa ketinggian lantai dari gedung baru tersebut. “Ini bukan soal satu atau seratus lantai. Tapi tentang anggaran negara yang seharusnya diprioritaskan untuk hal-hal lain,” tegas Sebastian kepada VIVAnews.
Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, audit Kementerian PU memutuskan gedung baru DPR hanya akan dibangun setinggi 26 lantai, bukan 36 lantai seperti rencana semula. Pemangkasan lantai itu pun membuat biaya pembangunan gedung dapat dikurangi dari Rp1,1 triliun seperti yang tercantum pada anggaran awal, menjadi Rp777 miliar.
“Saya berikan alternatif kepada DPR, mau memakai desain baru ini, atau (desain) yang lama diperbaiki,” kata Djoko. DPR sendiri tampaknya tak keberatan dengan keputusan Kementerian PU yang baru tersebut. “Kami memberikan kepercayaan tinggi kepada Kementerian PU dan jajarannya untuk mengkalkulasi ulang. DPR berterima kasih kepada ahli-ahli mereka. Saya mendorong seluruh anggota DPR menerima keputusan itu dengan lapang dada,” kata Priyo.
Namun FORMAPPI justru menilai, DPR dan pemerintah – dalam hal ini Kementerian PU – terkesan main-main soal anggaran negara. “Kalau PU punya otoritas dan andil untuk ikut menentukan soal pembangunan gedung DPR, kenapa baru sekarang bersuara? Kenapa baru sekarang melakukan audit?” tandas Sebastian. Menurutnya, PU kini seakan-akan tampil sebagai penyelamat bagi DPR.
“Ini logika sesat. Semakin memperjelas ada permainan di balik pembangunan gedung baru DPR. Ada sandiwara antara eksekutif dan legislatif,” ujar Sebastian. Ia mengingatkan, rencana pembangunan gedung baru DPR yang awalnya terdiri dari 36 lantai pun diketok DPR berdasarkan pertimbangan dari Kementerian PU. Maka, audit PU saat ini yang merevisi pertimbangannya yang terdahulu, menjadi terkesan mengada-ada.
“Tidak perlu gedung baru, batalkan. Lebih baik anggarannya digunakan untuk memperbaiki fasilitas di RSCM dan berbagai sekolah yang telah rusak,” pungkas Sebastian.
Sumber
Diskon Biaya Gedung Baru DPR Hanya Akal-Akalan
JAKARTA - Kebijakan Menteri Pekerjaan Umum Doko Kirmanto untuk menurunkan biaya pembangunan gedung baru DPR dari Rp 1,1 triliun menjadi 777 miliar dinilai hanya akal-akalan untuk mengelabui publik.
Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi mengatakan, yang diinginkan publik saat ini adalah penundaan pembangunan gedung.
“Publik ingin penundaan. Ini hanya siasat anggota DPR saja, akal-akalan bulus untuk mengecoh rakyat,” katanya kepada okezone, Senin (9/5/2011).
Dia mencontohkan, hal serupa pernah terjadi pada proyek renovasi rumah jabatan anggota DPR di Kalibata. Akibat protes keras masyarakat, DPR dan pemerintah akhirnya menurunkan biaya renovasi dari Rp 445 miliar menjadi sekira Rp 300 miliar. Namun, saat proyek berjalan tiba-tiba DPR mengajukan biaya tambahan pada APBN Perubahan sehingga totalnya tetap Rp 445 miliar.
Hal senada juga disampaikan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Menurutnya, pernyataan Menteri Pekerjaan Umum mempermainkan DPR dan mempermainkan masyarakat karena rencana pembangunan gedung baru ini bukan sehari dua hari lalu. Biaya pembangunan juga terus berubah dari Rp 1,8 triliun, Rp 1,3 triliun dan Rp 1,1 triliun.
“Mestinya kalau hitungan mereka jauh-jauh hari sebelumnya, maka angka 1,8 triliun enggak perlu muncul 1,3 triliun dan 1,1 triliun enggak perlu muncul dan DPR tak perlu dicaci maki begitu panjang,” ujarnya.
Menurut dia, DPR dan pemerintah gagal menangkap substansi penolakan publik yaitu agar program pembangunan gedung-gedung mewah dihentikan dan dialihkan ke sektor yang lebih menyentuh kepentingan rakyat. Misalnya, renovasi gedung sekolah, pembangunan jalan atau peningkatan jaminan kesehatan masyarakat.
“Itulah substansi penolakan masyarakat. Toh gedung yang sekarang sangat layak kecuali kalau sebentar lagi roboh, jadi pernyataan Menteri PU itu enggak ada gunanya, semakin melukai hati masyarakat,” katanya.
Sebastian juga pesimistis jika pembangunan gedung dilanjutkan maka biaya 777 miliar seperti yang disebut Djoko tak akan melejit. “Kalau sudah berjalan sulit mengendalikan untuk kebutuhan inilah, itulah,” katanya.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar
“Komentarnya yang membangun, yaa”.