Berbicara kepada BBC Arabic Radio, Jumat (04/02/2011), Ibrahim Kamel menegaskan, Mubarak tetap pada pendiriannya, tidak akan mundur dan melanjutkan sisa masa jabatannya.
Tribunnews.com sebelumnya menulis, New York Times, koran Amerika Serikat, mengutip sumber-sumber diplomat Arab dan Amerika Serikat melaporkan, Pemerintahan Obama sedang berdiskusi dengan para pejabat Mesir mengenai proposal pengunduran diri Mubarak secepatnya.
Menurut skenario itu, bila Mubarak mundur, pemerintahan dinyatakan transisional. Pemimpin pemerintahan transisi diserahkan kepada Omar Suleiman, pejabat yang diangkat Husni Mubarak menjadi wakil presiden setelah demonstrasi marak di Kairo. Mubarak dilaporkan bersedia mundur tapi mengkhawatirkan kekacauan di negeri yang dipimpinnya hampir 30 tahun terakhir.
Dunia sedang menunggu perkembangan beberapa jam ke depan untuk menjawab pertanyaan, “Inikah Hari Terakhir Husni Mubarak?” menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Konstitusional yang beranggotakan tiga orang,” demikian BBC News, Jumat (04/02/2011) malam WIB.
Setelah 11 hari protes antipemerintah yang ditandai kerusuhan mematikan, rejim Mesir tampak sedang mencoba untuk menemukan “jalan keluar terhormat” bagi Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun.
Mubarak (82 tahun) telah berjanji bahwa ia tidak akan maju lagi pada pemilihan umum September mendatang, tetapi para pemrotes terus menuntut agar ia mundur sekarang juga. Jumat (4/2/2011), Perdana Menteri yang baru diangkat, Ahmed Shafiq, tampak menggemakan hal itu dalam komentarnya untuk stasiun televisi Al-Hurra, yang menekankan perlunya sebuah “kepergian terhormat” bagi penguasa yang diprotes rakyatnya itu.
“Mayoritas rakyat Mesir ingin perlakukan terhormat dan menghormati seorang presiden yang telah menghabiskan waktu yang lama dalam kekuasaan, dengan sebuah cara beradab yang sesuai dengan sifat dasar orang-orang Mesir,” kata Shafiq kepada saluran berita itu.
Kepala negara dan mantan petinggi militer itu telah menawarkan berbagai reformasi dalam upaya untuk menenangkan para demonstran. Ia telah membubarkan pemerintahannya dan berjanji untuk mempermudah kondisi bagi pencalonan presiden.
Mubarak sendiri mengatakan dalam sebuah wawancara pada Kamis malam bahwa ia ingin mundur tetapi takut kekacauan yang bakal terjadi. Dan dalam pidato televisi terbaru untuk bangsanya, Selasa, Mubarak tampaknya mencoba untuk menarik hati rakyatnya dengan mengatakan, Mesir merupakan “bangsa yang saya bela dan di mana saya akan mati. Tanggung jawab utama saya sekarang adalah memberi keamanan dan stabilitas bagi bangsa demi memastikan transisi kekuasaan secara damai.”
Bagaimanapun, Mubarak telah tampil low profile pada beberapa hari ini sejak ia menunjuk seorang wakil presiden untuk pertama kalinya dalam tiga dekade pemerintahannya, yaitu kepala intelijen Omar Suleiman. Sebagian besar perubahan kunci kebijakan pemerintah sejak itu telah diumumkan oleh Suleiman atau Shafiq, meskipun keduanya mengatasnamakan Mubarak, yang hanya membuat satu penampilan publik sejak aksi protes meletus pada tanggal 25 Januari.
“Ia memiliki suatu kepekaan akan tugas dan dia sangat yakin bahwa jika ia pergi, akan ada kekacauan,” kata Elia Zarwan, dari International Crisis Group. Zarwan menambahkan, Mubarak juga mungkin takut meninggalkan kantor. “Ada ketakutan bahwa jika ia pergi … ia bisa kehilangan segalanya, ia mungkin dituntut,” katanya.
Pememimpin tokoh oposisi Mohamed ElBaradei telah menyerukan agar Mubarak diberisuatu “jalan keluar yang aman”. “Saya merupakan (jalan) keluar yang aman bagi Presiden Mubarak,” kata pemenang Nobel perdamaian itu kepada televisi Al-Hurra pada tanggal 1 Februari. “Kami akan membalik halaman itu, kami dapat memaafkan masa lalu.”
Diaa Rashwan dari Pusat Al-Ahram bagi Kajian Politik dan Strategi mengatakan, konstitusi Mesir dapat memberikan Mubarak sebuah strategi keluar. “Pasal 139 menetapkan bahwa presiden bisa mendelegasikan kekuasaan kepada wakil presiden,” sementara ia tetap mempertahankan stastusnya, katanya kepada AFP. “Seperti dalam sebuah monarki konstitusional, perannya akan menjadi bersifat kehormatan.”
Zarwan mengatakan, sebagian terbesar demonstran bisa puas dengan langkah tersebut. “Saya berpikir bahwa dalam beberapa hari terakhir rejim itu berhasil membuat kemajuan dalam meraih opini publik,” katanya. “Banyak orang di Tahrir Square mengatakan, masa Mubarak sudah cukup.”
Di alun-alun itu, yang menjadi fokus protes massa setiap hari sejak tanggal 25 Januari, seorang demonstran, Hatem (29 tahun), mengatakan, dia siap pulang ke rumah pada hari Jumat. “Jika Mubarak menyerahkan kekuasaannya kepada wakil presiden Suleiman, saya akan berhenti memprotes,” katanya. (*)
Para pemimpin 27 negara Uni Eropa menuntut agar transisi menuju demokrasi di Mesir dimulai “sekarang”. Demikian bunyi pernyataan bersama para pemimpin itu, Jumat (4/2/1011), yang juga mengecam kekerasan yang terjadi di Mesir.
Pada pertemuan puncak selama sehari, para pemimpin itu “meminta pihak berwenang Mesir untuk memenuhi aspirasi rakyat Mesir dengan reformasi politik, bukan represi.” Mereka menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri dan tidak ada kekerasan lebih lanjut saat negara itu memulai transisi secara “tertib” menuju sebuah pemerintahan berbasis luas.
“Dewan Eropa menggarisbawahi bahwa proses transisi ini harus dimulai sekarang,” tambah pernyataan itu, yang merupakan respons paling keras dari Uni Eropa sejauh ini terhadap gejolak di Mesir.
Sebuah sumber diplomatik yang meminta jati dirinya tidak disebutkan mengatakan kepada AFP bahwa telah terjadi perdebatan seru di antara para pemimpin itu atas pilihan kata yang terkandung dalam pernyataan tersebut. Pernyataan tersebut juga berisi ancaman terselubung untuk menangguhkan bantuan Uni Eropa kepada Mesir. Meskipun jumlahnya jauh di bawah bantuan AS, jumlah bantuan Uni Eropa hampir setengah miliar euro (610 miliar dollar AS) pada periode tiga tahun berjalan.
“Dasar hubungan Uni Eropa dengan Mesir harus merupakan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam perjanjian asosiasi dan komitmen yang dibuat,” kata pernyataan itu. Para pemimpin itu mengatakan, Eropa mengikuti “dengan saksama situasi yang memburuk di Mesir” dan “sangat mengecam kekerasan serta semua orang yang menggunakan dan mendorong terjadinya kekerasan.” Para pemimpin itu juga menggambarkan, serangan terhadap media merupakan “sesuatu yang tidak bisa diterima”.
Menanggapi kritik bahwa Eropa telah mendukung rezim otoriter di Timur Tengah sebagai benteng melawan ekstremis Islam, para pemimpin itu berjanji untuk mengubah kebijakan luar negeri mereka. “Para pemimpin Uni Eropa berkomitmen untuk sebuah kemitraan baru yang melibatkan lebih banyak dukungan yang efektif di masa depan untuk negara-negara yang mengejar reformasi politik dan ekonomi,” demikian pernyataan itu.
Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Spiritual Tertinggi Iran, menyatakan bahwa Mesir dan Tunisia adalah sebuah pergerakan Islam. Demikian dilansir Aljazeera, Sabtu (5/2/2011). Dalam ceramah Jumat di Universitas Teheran, ia mengatakan semua orang menjadi saksi dari gerakan revolusi Islam di tahun 1979.
“Inilah kebangkitan dari umat Islam di Mesir dan juga gerakan pembebasan Islam dan saya atas nama pemerintah Iran merasa salut atas pergerakan yang dilakukan oleh rakyat Mesir dan Tunisia,” kata Khamenei, lagi. Khamenei mendesak pengunjuk rasa agar mengikuti langkah revolusi Islam yang berhasil menumbangkan Shah Iran yang dianggap pro-Amerika Serikat dan kemudian melahirkan negara republik Islam serta meminta agar bersatu di bawah naungan agama.
0 komentar:
Posting Komentar
“Komentarnya yang membangun, yaa”.